cerita dari aspira

Rabu, 01 September 2010

Sebuah Panggung Sandiwara

Tak pernah terfikir olehku, terjebak didalam kenyataan dunia yang sama sekali tidak aku sukai. Terjebak dalam setiap ruang waktu yang tidak aku inginkan terus menerus.
Bagai sebuah sandiwara kolosal yang terus dilakoni oleh para pemain-pemainnya, terus dan terus dan terus beradegan hingga tiba pada titik penyelesaian yaitu akhir dari sandiwara.
Namun, ini sedikit berbeda, setiap peran dalam ruang waktu itu terus aku mainkan tanpa tahu kapan akan berakhir. Tidak pernah ada titik temu akan semua adegan dan tidak pernah ada titik balik akan sebuah penyelesaian sebuah konflik dari setiap lakon yang aku mainkan dalam sandiwara dunia yang telah menjebakku dalam-dalam.
Entah sudah berapa banyak lakon dan adegan yang telah aku mainkan sampai sekarang, namun tak pernah ada seberkas cahaya yang menunjukkan ini akan berakhir.
Bagai aktor dengan jam terbang yang tinggi, aku menggambarkan diriku ini. Bagaimana tidak! Dalam hitungan detik aku bisa memainkan berbagai sosok dalam satu ruang waktu. Ketika sedih tiba-tiba aku tertawa, ketika berkumpul bersama-sama tiba-tiba aku sendirian, ketika aku tertawa lepas tiba-tiba ar mata mulai membasahi pipi ini.
Sungguh luar biasa. Aku sendiri pun heran bagaiman ini dapat terjadi. Atau pernahkah terfikir oleh kalian ketika bersama teman maka ekspresi kita sangat gembira dan sangat lepas, ketika kita berada dirumah tiba-tiba kita berubah 180 derajat menjadi anak yang penurut, pendiam dan sulit bergaul. 
Ini bukan mengenai kepribadian ganda, tapi lebih kepada peran apa yang kita mainkan pada ruang waktu dan kondisi yang berbeda pula.
Setiap gerak laku kita terus berubah sesuai dengan skenario yang telah ada dari awal kita menghirup oksigen pertama didunia ini.
Setiap aku mulai merasa konflik ini sudah mencair maka muncullah konflik-konflik baru yang mewarnai setiap sketsa  dan itu membuatku lelah.
Adegan demi adegan, sketsa demi sketsa, terus menghampiri diriku ini. Terus bergulir seakan mengejar dan ingin terus dipentaskan. Hanya jenuh yang terasa tanpa tahu harus berbuat apalagi.
Pernah terfikir pula dalam benak ini, untuk menulis kisah baru dengan akhir yang penuh kebahagiaan. Namun entah mengapa ide cerita itu selalu bertentangan dengan naskah asli yang aku pentaskan setiap hari.
Pernah pula aku bertanya, siapakah yang menulis naskah sandiwara hidupku ini? Sehingga aku terus menerus harus melakoni semua adegan ini. Namun tak ada jawaban yang pasti.
Semua ini seakan tiada akhir yang pasti kapan akan segera berakhir. Menunggu sebuah kata dipenghujung adegan sandiwara yaitu “TAMAT”
Dan akhirnya aku tetap melakoni adegan-adegan baru dalam kisah hidupku. Entah apalagi peran yang akan aku mainkan esok hari. Entahlah?

-010910-